Friday, January 1, 2021

The Grand Design Part II

llmuwan Fisika Teoritis Stephen Hawking kembali mencuri perhatian dunia melalui buku terbarunya yang berjudul "The Grand Design". Karya teranyar Hawking bersama fisikawan Leonard Mlodinow. Selain itu kontroversi pemberitaannya sudah menduduki tempat teratas pembicaraan dunia. Dalam pemberitaan The Times minggu lalu tentang The Grand Design, Hawking berpendapat bahwa dengan adanya hukum gravitasi, semesta bisa dan akan tercipta dengan sendirinya dari ketiadaan. Tidak perlu melibatkan Tuhan untuk mencipta dan menggerakkan alam semesta. Sontak saja, pernyataan ilmuwan kenamaan tersebut mengundang gelombang protes dari berbagai pihak, khususnya dari kaum rohaniawan. 

Pernyataan Hawking bahwa Tuhan tidak ada sangkut pautnya dengan penciptaan alam semesta, ditentang kaum rohaniwan di Inggris. Menurut mereka, teori Hawking itu tidak bisa diterima sebagai kebenaran apalagi sampai mengusik keimanan orang lain. Kepala Gereja Kristen Anglikan, Rowan Williams, tidak bisa menerima argumen Hawking bahwa alam semesta bisa tercipta tanpa campur tangan Tuhan. Menurut Williams, manusia sejak dahulu percaya bahwa Tuhan menciptakan semesta. Terus terang saya terkejut dengan kontroversi di media massa tentang pernyataan-pernyataan ilmiah Hawking. Seakan-akan Hawking merilis pernyataan baru yang mengejutkan saja. Bagi para pembaca setia buku-buku Hawking sebelumnya, The Grand Design hanyalah sekuel teranyarnya. 

Sebenarnya tidak ada yang sungguh-sungguh baru dalam buku populer tersebut. (Saya sebut populer, karena memang ditujukan untuk kaum awam dalam bahasa yang mudah dipahami). Dalam buku pertamanya, A Brief History of Time yang diterbitkan Bantam Press, Hawking mengajak kita berkelana secara bertahap dari Fisika Klasik ala Newton, kemudian ke teori relativitas khusus dan umumnya Albert Einstein sampai kepada Fisika Kuantum dan Teori Dawai (String Theory) yang pada akhirnya membawa pemahaman tentang alam semesta. Pemahaman itu berlanjut ke buku berikutnya pada tahun 1993, Black Holes and Baby Universes and Other Essays (Bantam Book). Kemudian pada tahun 2005, berlanjut ke dalam buku yang judulnya mirip dengan publikasi pertamanya yaitu A Briefer History of Time. Nah, dalam The Grand Design, Hawking mengangkat "M-Theory", sebuah bentuk dari teori dawai yang dipercayainya sebagai pamungkas untuk menjelaskan penciptaan alam semesta ini. 

Hebatnya, dalam menjelaskan konsep-konsep kosmologi tersebut, tidak satupun termuat rumus fisika dan matematika yang membuat mumet kepala. Bagi saya yang telah membaca teks aslinya, Stephen Hawking menjelaskan kosmologi sejernih Richard Dawkin menjelaskan Evolusi. Sebagai ilmuwan fisika teoritis terbesar setelah Albert Einstein, Hawking yang menderita kelumpuhan karena penyakit ALS sejak umur 21 tahun itu telah memperkaya kosmologi dengan teori-teori dari fisika kuantum . Hawking telah menyumbang pemahaman terbaru tentang gravitasi kuantum, lubang hitam, radiasi Hawking, dan masih banyak lagi teori besar lainnya.

Walaupun dikenal luas dalam dunia fisika, perlu diketahui Stephen Hawking adalah pensiunan Profesor matematika Lucasian di Universitas Cambridge, posisi terakhir yang pernah diduduki Sir Isaac Newton. Opini yang digiring oleh pemberitaan media massa adalah bahwa melalui buku barunya yang diterbitkan oleh Bantam itu, Hawking mementahkan keyakinan ilmuwan pendahulunya Sir Isaac Newton yang percaya bahwa alam semesta termasuk bumi terbentuk akibat campur tangan Tuhan. Newton memang mempercayai bahwa alam semesta dirancang oleh Tuhan karena tidak mungkin muncul dari fenomena kaos. Hawking dianggap berkeyakinan serupa karena pada buku pertamanya yang bestseller, A Brief History Of Time pada tahun 1988, dia menuliskan "If we discover a complete theory, it would be the ultimate triumph of human reason – for then we should know the mind of God." 

Disimpulkan bahwa Hawking bersikap theis karena mengatakan bahwa pencapaian terakhir adalah memahami pikiran Tuhan! Tapi, apakah Hawking berubah menjadi atheis? Sebenarnya bukan kali ini saja Hawking mengesampingkan konsep Tuhan dalam mengemukakan teorinya. Dalam wawancara dengan stasiun televisi Inggris, Channel 4, Juni tahun ini, Hawking mengaku tidak percaya bahwa ada Tuhan eksis sebagai “pribadi”. Dalam wawancara dengan reporter ABC, Diane Sawyer, Stephen Hawking berkata ada perbedaan mendasar antara agama yang berdasarkan otoritas dan sains yang berpijak pada pengamatan dan “ reason”. 

Ini adalah pandangan baku seorang ilmuwan tulen. Kalau mau jujur, sains adalah atheis ditinjau dari seluruh kerangka dan pondasinya. Kalaupun kelihatannya ilmuwan mempercayai Tuhan, itu bukanlah Tuhan seperti yang dipahami kitab suci dan kaum agama. Tuhan tidak perlu berbentuk suatu pribadi yang ilahi. Bahkan dalil ilmiah pun bisa dianggap tuhan. Tak kurang Hawking berkata "Bila Anda mau, Anda bisa menyebut dalil-dalil ilmiah itu 'Tuhan.' Namun bukan seperti suatu Tuhan yang personal yang bisa Anda temui dan Anda tanya.” Saya pribadi kagum akan kejeniusan ilmuwan besar tersebut, tapi sekaligus tergelitik dengan pilihan judul bukunya kali ini. The Grand Design adalah kata-kata biasa, tapi jika didudukkan sebagai judul buku maka itu adalah judul yang manis tapi serta merta bombastis. 

Sebenarnya Hawking bisa memasang judul yang lain, tapi mengapa Hawking memilih judul itu? Percayalah, Hawking bukan hanya piawai menghidangkan kosmologi sehingga terasa renyah untuk disantap kaum awam tapi juga paham konsep pemasaran. Jumlah pemeluk agama di dunia ini lebih banyak dari kaum atheis atau agnostik. Siapapun yang beragama, jika pertama kali dihadapkan pada kata-kata The Grand Design akan menyangka sedang berhadapan dengan sesuatu 'manis', barangkali sebuah buku religi. Kemudian Hawking menembak pembacanya langsung di jantung pikirannya bahwa Rancangan Raya (atau Maha Rancangan ya?) tidak harus berasal dari sesuatu yang ilahi. 

Hawking kelihatannya sedang memposisikan kata-kata The Grand Design dengan kata-kata The Intelligent Design dalam kelas yang sama. Melalui bukunya, Hawking kelihatannya menyerang keyakinan penganut agama dan kaum kreasionisme tentang “Intelligent Design” yaitu Rancangan Cerdas yang mendasari penciptaan semesta dan makhluk hidup. Orang yang percaya kepada Tuhan dan kaum kreasionisme berpendapat bahwa alam semesta dirancang secara cerdas. Intelligent design merupakan argumen teleologis akan keberadaan Tuhan, namun menghindari pendeskripsian sifat-sifat maupun identitas sang perancang itu. 

Gagasan ini pada awalnya dikembangkan oleh sekelompok kreasionis Amerika yang memformulasikan ulang argumen mereka untuk menyiasati putusan pengadilan Amerika Serikat yang melarang pengajaran penciptaan sebagai sains. Intelligent Design dianggap sebagai konsep yang menjebatani antara sains dan penciptaan. Teori ini dianut oleh banyak ilmuwan yang masih memegang teguh agamanya, karena bisa mendamaikan teori-teori sains dengan ajaran agama. Umat manusia memang sangat berterimakasih atas sumbangan-sumbangan pemikiran ilmuwan ke dalam khasanah pengetahuan dunia, tapi tidak seharusnya pemahaman itu mengoyak keyakinan seseorang dalam beragama. Saya pribadi memisahkan sains dan agama sebagai dua hal yang berbeda. 

Sebagai bagian dari dunia sains, saya mempercayai teori evolusi dalam biologi sebagaimana saya menerima teori dentuman besar dalam fisika. Tapi sebagai umat beragama, saya percaya Tuhan menciptakan semesta dan manusia, entah dengan mekanisme apa pun itu. Kitab suci tidak tertarik untuk menerangkan detilnya. Tapi dengan menggabungkan kedua pemahaman itu sekaligus, fakta yang kita terima akan menjadi absurb. Bagi saya cukup aneh mempercayai bahwa Tuhan menciptakan semesta dengan The Big Bang dan menciptakan manusia melalui proses evolusi. 

Konsep itu tidak lebih dari usaha pencampuradukan agama dengan sains yang ganjil. Uskup Agung Canterbury, Dr. Rowan Williams kepada harian The Times berkata, "Iman terhadap Tuhan bukan soal mencari jawaban tentang bagaimana satu hal berkorelasi dengan hal lain di semesta. Ini adalah iman bahwa ada sesuatu yang Maha Cerdas dan Kuasa di mana segala hal di jagat raya ini bergantung pada keberadaanNya. Ilmu fisika saja tak akan mampu memecahkan misteri kenapa tercipta sesuatu dari 
ketiadaan."

Writter : Sugianto P.S.
Previous Post
Next Post

Annur Afgoni. Mahasiswa Fisika di Universitas Mataram yang selalu ingin belajar secara kontinue sepanjang hidup.

0 comments: